INDOPOS.CO.ID – Dengan penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 mengenai Pemasyarakatan serta pengesahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, institusi Pemasyarakatan harus bersiap untuk terlibat dalam transisi menuju paradigma pemidanaan yang baru.
“Di masa datang, sistem pemidanaan tidak hanya harus memberikan penyelesaian yang adil, tetapi juga bertujuan untuk memulihkan. Hukum harus dianggap sebagai alat untuk mengubah sosial menuju kebaikan,” kata Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Hamonangan Laoly, saat memimpin Upacara Hari Bakti Pemasyarakatan (HBP) Ke-60 di lapangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Senin (29/4/2024).
Dalam kesempatan tersebut, Yasonna menegaskan bahwa penerapan hukuman berupa penjara perlu ditinjau ulang, dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemanusiaan, filosofi hukuman, dan kondisi sosial-ekonomi negara. Ia juga menyatakan bahwa penjara tidak efektif dalam mengatasi gangguan kejahatan, bahkan memiliki dampak yang merugikan.
“Oleh karena itu, alternatif pidana nonpemenjaraan perlu diperkuat. Pemasyarakatan memiliki peran penting dalam memastikan hak-hak individu yang dipenjarakan, memberikan rehabilitasi kepada pelanggar hukum, dan melindungi masyarakat dari kejahatan. Peran tersebut harus dilaksanakan dengan profesionalisme dan tanggung jawab yang tinggi,” ujarnya.
Yasonna menegaskan pentingnya mematuhi prinsip yang disepakati dalam Konferensi Lembang pada tanggal 27 April 1964, bahwa penjara hanya merupakan sarana, bukan tujuan utama Pemasyarakatan.
“Keberhasilan Pemasyarakatan tidak hanya ditentukan oleh kekokohan tembok atau kekuatan jeruji besi, tetapi lebih pada usaha untuk mengembalikan pelanggar hukum ke dalam masyarakat,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Yasonna, pemasyarakatan merupakan bagian integral dari masyarakat itu sendiri, dan penerimaan masyarakat terhadap narapidana adalah indikator keberhasilan sistem ini.
Untuk mencapai tujuan tersebut, fokus tidak hanya pada pelanggar hukum, tetapi juga memperluas upaya hingga ke masyarakat untuk membangun reintegrasi sosial.
Yasonna mengucapkan terima kasih kepada semua elemen masyarakat dan instansi terkait yang telah mendukung tugas Pemasyarakatan, serta memberikan apresiasi kepada petugas Pemasyarakatan atas prestasi yang telah diraih.
Dia juga mendorong seluruh petugas untuk tetap semangat, penuh dedikasi, dan tidak pernah menyerah dalam memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.
“Akhir kata, selamat Hari Bakti Pemasyarakatan Ke-60. Semoga Tuhan Yang Maha Kuasa senantiasa
memberikan bimbingan dan perlindungan dalam setiap langkah kita,” ucap Yasonna.
Secara historis, Hari Bakti Pemasyarakatan (HBP) menjadi momen penting dalam mengenang penggunaan istilah “Pemasyarakatan” secara resmi sejak 27 April 1964 dalam Konferensi Dinas Kepenjaraan di Lembang. HBP menandai perubahan besar dari sistem penjara yang hanya bertujuan untuk mengurung narapidana menjadi Sistem Pemasyarakatan yang bertujuan untuk mereformasi pelanggar hukum menuju perbaikan yang lebih baik.
Dalam peringatan HBP yang ke-60 pada tahun 2024, tema yang diangkat adalah “Pemasyarakatan PASTI Berdampak”. Sejumlah kegiatan telah dilaksanakan sebelumnya, termasuk lomba Musabaqah Tilawatil Qur’an dan dakwah bagi Tahanan/Anak/Narapidana dan Anak Binaan, Safari Ramadan, pembagian takjil, Mudik Gratis Pemasyarakatan, donor darah, Inmate’s Got Talent, Festival Pemasyarakatan, tabur bunga di makam pahlawan, serta program promosi penggunaan produk dalam Lapas.
Setelah upacara, peringatan HBP ke-60 diwarnai dengan berbagai pertunjukan dari Warga Binaan dan petugas Pemasyarakatan dalam bentuk parade. Pertunjukan ini mencakup beragam program Pemasyarakatan, Pasukan Bendera Merah Putih dan Bendera Pataka, Pasukan Pramuka, karya seni dari Warga Binaan di seluruh Indonesia, peragaan busana daerah hasil karya Warga Binaan, tarian dari Paguyuban Ibu-ibu Pemasyarakatan, Pleton Teknis Pemasyarakatan, Pasukan Beladiri, Pleton Tim Keamanan Pemasyarakatan, serta marching band dari Taruna Politeknik Ilmu Pemasyarakatan. (fer)