Hadapi Tantangan Bonus Demografi di Era Digital, Ini Pesan Menaker Ida Fauziyah

Menaker-RI

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah (tengah) (Nasuha/ INDOPOS.CO.ID)

INDOPOS.CO.ID – Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengatakan, era digital banyak muncul pekerjaan baru dan tak sedikit pekerjaan lama hilang. Survey World Economic Forum 2023 menunjukkan bahwa pekerjaan-pekerjaan yang sifatnya klerikal dan rutin diperkirakan akan semakin menurun permintaannya.

Sementara, menurut dia, pekerjaan-pekerjaan yang dekat dengan pemanfaatan teknologi digital diperkirakan semakin meningkat permintaannya. “Permintaan ini diikuti dengan tumbuhnya kompetensi-kompetensi baru, terutama yang berkaitan dengan sektor teknologi informasi digital,” kata Ida Fauziyah saat hadir di National Symposium on Human Capital Keluarga Alumni Fakultas Ekonomika dan Bisnis Program Studi Magister Manajemen (KAFEGAMA MM) dan MBA FEB UGM (Universitas Gajah Mada) di Jakarta, Kamis (3/8/2023).

Ia mengatakan, digitalisasi juga mempengaruhi budaya dan pola kerja yang ikut berubah seiring pemanfaatan teknologi yang semakin besar pada semua aspek. Saat ini, menurutnya, konsep hubungan kerja serta konsep ruang dan waktu bekerja menjadi semakin cair dan fleksibel. “Ini dipengaruhi besarnya generasi milenial dan Z Indonesia yang merupakan digital native atau sangat melek dengan teknologi,” katanya.

Ia menjelaskan, proses digitalisasi telah menimbulkan tantangan bagi dunia industri dan juga bagi tenaga kerja untuk bisa beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi dengan begitu
cepat. Misalnya, tumbuh pesatnya permintaan akan kompetensi digital dari pekerja telah menyebabkan mismatch di pasar kerja.

“Ini tercermin dari temuan survei yang menunjukkan banyak perusahaan di Indonesia yang sulit mencari karyawan dengan kemampuan digital memadai,” bebernya.

“Sebanyak 56,3 persen masyarakat sulit atau sangat sulit untuk mencari pekerja dengan kemampuan digital,” imbuhnya.

Data dari BPS menunjukkan penggunaan internet yang tinggi di masyarakat. Sebagian besar digunakan untuk media sosial, berita dan hiburan. Sementara penggunaan untuk bekerja masih sangat terbatas. “Ini jadi tantangan bagi kita dalam membuka akses terhadap peningkatan keterampilan digital,” ucapnya.

Salah satu alasannya, masih ujar Dia, adalah Indonesia memiliki modal puncak bonus demografi pada periode tahun 2020 sampai 2035. Di mana pada periode tersebut penduduk usia produktif jauh lebih besar dibanding penduduk usia non-produktif.

“Dalam periode itu Indonesia juga menjadi negara dengan angkatan kerja terbanyak di ASEAN dan salah satu yang terbesar di Asia,” ungkapnya.

“Kita harus mampu memanfaatkan bonus demografi agar perekonomian kita bisa tumbuh dengan pesat. Apabila kita gagal, bonus demografi justru bisa menjadi beban. Karena meningkatnya jumlah lansia di masa berikutnya,” imbuhnya.

Ia mengatakan, solusi untuk mengatasi kondisi tersebut dengan meningkatkan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM). Tanpa investasi dan usaha yang tepat untuk meningkatkan human capital dan kualitas SDM, maka akan sulit bersaing di era digital saat ini.

“Tantangan kita menurut proyeksi ILO, ketersediaan tenaga ahli di Indonesia masih sangat kurang, persentasi tenaga ahli Indonesia nomor 2 paling kecil di ASEAN yaitu sebesar 10,7 persen,” ungkapnya.

“Dimana hanya ada sekitar 13 juta tenaga ahli dibandingkan 113 juta tenaga non ahli,” imbuhnya.

Data Asian Productivity Organization juga menunjukkan bahwa, produktivitas per-pekerja Indonesia masih di bawah rata-rata ASEAN. Hal ini dikarenakan, dari setiap 10 penduduk bekerja Indonesia, terdapat 6 orang yang berpendidikan SMP ke bawah. “Rendahnya tingkat pendidikan dan produktivitas ini membuat posisi daya tawar pekerja Indonesia relatif rendah,” tegasnya.

Diketahui, dalam kegiatan National Symposium on Human Capital dirumuskan serangkaian imperatif strategis dalam penentuan arah pengelolaan sumber daya manusia di Indonesia. Di antara imperatif tersebut adalah bahwa Human Capital adalah perhatian semua lini bisnis, tidak terbatas pada divisi sumber daya manusia saja.

Lalu, Human Capital harus bergerak menjadi enabler dalam menyiapkan talenta masa depan. Dan, perlu penguatan kolaborasi antara industri, universitas, dan pemerintah dalam mempercepat transisi menuju masa depan digital yang berorientasi pada keberlanjutan. (nas)

Exit mobile version