INDOPOS.CO.ID – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluncurkan Kampanye Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kampanye ini penting karena pada tahun ini Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PDKRT) tepat berusia 19 tahun.
UU tersebut harusnya sudah memberikan ruang bagi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) untuk mengupayakan akses terhadap keadilan dan pemulihan. Namun kenyataannya belum maksimal dalam hal implementasi.
“Ada jaminan perlindungan yang terangkum di UUD 45, dan UU lainnya. Perlindungan itu setara untuk perempuan dan anak,” ujar Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan dalam Rumah Tangga dan Rentan, KPPPA Eni Widiyanti dalam keterangan, Selasa (5/9/2023).
Ia mengatakan, Indonesia terbentuk untuk melindungi rakyatnya. Namun, menurut dia, masih saja ada perempuan dan anak perempuan yang menjadi korban kekerasan.
Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPPA) mencatat data pelaporan kasus kekerasan yang terjadi saat ini, sepanjang tahun 2022 sampai dengan bulan Juni 2023 terdapat 15.921 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan dengan jumlah korban 16.275 orang.
Sedangkan untuk kasus kekerasan terhadap anak sebanyak 23.363 kasus dengan jumlah korban 25.802 orang. Berdasarkan jenis kekerasannya, kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan korban berjumlah paling banyak adalah kekerasan fisik dengan jumlah 7.940 kasus, kekerasan psikis berjumlah 6.576, kekerasan seksual berjumlah 2.948 kasus, dan penelantaran sejumlah 2.199 kasus.
Berdasarkan data Simfoni PPA dari Januari- Juni 2023 menurut tempat kejadian, kasus yang paling banyak dialami adalah dalam rumah tangga (KDRT) yakni sebesar 48,04 persen (7.649 kasus) diikuti di tempat kejadian lainnya kemudian fasilitas umum, tempat kerja, sekolah dan lembaga pendidikan. Sedangkan sebanyak 60 persen (14.034 Kasus) kekerasan yang terjadi terhadap anak adalah kasus kekerasan seksual.
“Sekarang yang paling penting adalah bagaimana korban mau bicara. Sehingga mereka bisa mendapatkan bantuan dan juga pertolongan mengatasi trauma, sekaligus pelaku bisa diberikan efek jera,” ungkap Eni.
Ia menambahkan, penghapusan KDRT ini harus disosialisasikan dengan beberapa alasan, di antaranya data kekerasan masih tinggi dan UU PKDRT sudah hampir dua dekade.
Eni mengatakan bahwa kolaborasi sangat penting untuk bisa membantu kampanye penghapusan KDRT di masyarakat.
“Dukungan dari media, dengan upaya penghapusan KDRT ini menjadi upaya kolaborasi. Tanpa upaya semua pihak cita-cita untuk melindungi bangsa terutama perempuan dan anak tidak bisa dicapai,” ujarnya. (nas)